BERPANTUN, CARA MENDES PDT MERAWAT KEARIFAN DESA

(Oleh: Daud Bengkulah/Penelitian)
Pantun adalah salah satu puisi lama yang mekar dan berakar kuat di tanah Nusantara. Di banyak daerah, ia pernah menjadi bintang panggung di setiap hajatan, musyawarah, atau perjumpaan warga. Namun kini, di tengah derasnya arus modernisasi, pantun kian terdesak ke pinggir panggung peradaban.
Bagi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto, pantun bukan sekadar rangkaian kata berima yang manis di telinga. Pantun adalah warisan kearifan lokal yang menyimpan falsafah hidup, mengajarkan sopan santun, sekaligus menyampaikan pesan dengan cara yang menghibur dan merangkul hati.
Setiap kali berkunjung ke desa, Yandri kerap membuka atau menutup pertemuan dengan pantun. Bagi yandri, ini ibarat menyiram benih keakraban di ladang hati warga. Seperti saat kunjungannya ke Papua, ia melantunkan bait hangat yang disambut senyum dan tepuk tangan warga:
Mentari pagi sinari lembah
Lembah yang indah tiada tara
Tanah Papua elok dan megah
Surga kecil dari timur Nusantara
Bait itu bukan sekadar hiasan sambutan, melainkan jembatan hati. Dalam sekejap, suasana formal berubah cair, jarak antara menteri dan rakyat pun menguap.
Yandri paham betul bahwa pembangunan desa tak bisa hanya diukur dari panjangnya jalan yang diaspal atau angka statistik kemiskinan yang menurun. Ada fondasi yang lebih halus namun vital yaitu budaya. Dan pantun adalah salah satu pilar yang menopang tegaknya identitas desa.
Dengan berpantun, ia seakan menghidupkan kembali tradisi lisan yang di banyak tempat mulai terlupakan. Apa yang dilakukannya adalah bentuk diplomasi budaya, sederhana tapi menyentuh, tradisional tapi relevan. Bagi masyarakat desa, gaya komunikasi ini seperti angin segar yang meniupkan kembali semangat kebersamaan.
Bukan berlebihan jika dikatakan, setiap kunjungan kerja Yandri ke pelosok negeri lebih terasa seperti silaturahmi keluarga besar ketimbang agenda resmi pemerintahan. Pantun menjadi alat perekat, yang mengikat senyum di wajah warga, menghapus batas-batas formalitas, sekaligus menjaga denyut kearifan desa di tengah arus zaman yang kian serba cepat.